LANDASAN TEORI
A.
Pengertian
Demokrasi Pancasila
Istilah "demokrasi" berasal
dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara
tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang
berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah
berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad
ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak
negara.
Kata "demokrasi" berasal dari
dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti
pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang
lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu
politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai
indikator perkembangan politik suatu negara. Menurut Wikipedia Indonesia,
demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Demokrasi yang dianut di Indonesia,
yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan
mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta
pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok
dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang Undang Dasar
1945. Selain dari itu Undang-Undang Dasar kita menyebut secara eksplisit 2
prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan mengenai
Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:
I.
Indonesia ialah
negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat).
II.
Sistem
Konstitusionil
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem
Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak
terbatas). Berdasarkan 2 istilah Rechstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah
bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah
demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia, yaitu
‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan’, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian demokrasi Indonesia
mengandung arti di samping nilai umum, dituntut nilai-nilai khusus seperti
nilai-nilai yang memberikan pedoman tingkah laku manusia Indonesia dalam
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, tanah air dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah dan masyarakat, usaha dan krida manusia
dalam mengolah lingkungan hidup. Pengertian lain dari demokrasi Indonesia
adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia (demokrasi pancasila). Pengertian tersebut pada
dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham Lincoln, mantan presiden Amerika
Serikat, yang menyatakan bahwa demokrasi suatu pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat, berarti pula demokrasi adalah suatu bentuk kekuasaan
dari – oleh – untuk rakyat. Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan
arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat
didefinisikan sebagai warga negara. Kenyataannya, baik dari segi konsep maupun
praktik, demos menyiratkan makna diskriminatif. Demos bukan untuk rakyat
keseluruhan, tetapi populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi
atau kesepakatan formal memiliki hak preogratif forarytif dalam proses
pengambilan/pembuatan keputusan menyangkut urusan publik atau menjadi wakil
terpilih, wakil terpilih juga tidak mampu mewakili aspirasi yang memilihnya.
Secara ringkas, demokrasi Pancasila memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang
ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran
religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur,
berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.
2. Dalam
demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat
sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
3. Dalam
demokrasi Pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus
diselaraskan dengan tanggung jawab social.
4. Dalam
demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan
cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan,
sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.
B.
Prinsip
Pokok Demokrasi Pancasila
Prinsip merupakan kebenaran yang
pokok/dasar orang berfikir, bertindak dan lain sebagainya. Dalam menjalankan prinsip-prinsip
demokrasi secara umum, terdapat 2 landasan pokok yang menjadi dasar yang
merupakan syarat mutlak untuk harus diketahui oleh setiap orang yang menjadi
pemimpin negara/rakyat/masyarakat/organisasi/partai/keluarga, yaitu:
1. Suatu
negara itu adalah milik seluruh rakyatnya, jadi bukan milik perorangan atau
milik suatu keluarga/kelompok/golongan/partai, dan bukan pula milik penguasa
negara.
2. Siapapun
yang menjadi pemegang kekuasaan negara, prinsipnya adalah selaku ‘pengurus’
rakyat, yaitu harus bisa bersikap dan bertindak adil terhadap seluruh
rakyatnya, dan sekaligus selaku ‘pelayan’ rakyat, yaitu tidak boleh/bisa
bertindak zalim terhadap ‘tuannya’, yakni rakyat.
Adapun prinsip pokok demokrasi Pancasila
adalah sebagai berikut:
1. Pemerintahan
berdasarkan hukum: dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan:
a. Indonesia
ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(machtstaat).
b. Pemerintah
berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan tidak terbatas).
c. Kekuasaan
yang tertinggi berada di tangan MPR.
2. Perlindungan
terhadap hak asasi manusia.
3. Pengambilan
keputusan atas dasar musyawarah.
4. Peradilan
yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh
Presiden, BPK, DPR, DPA atau lainnya.
5. Adanya
partai politik dan organisasi sosial politik karena berfungsi “Untuk
menyalurkan aspirasi rakyat”.
6. Pelaksanaan
Pemilihan Umum;
7. Kedaulatan
adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (pasal 1 ayat 2 UUD
1945),
8. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban,
9. Pelaksanaan
kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri,
masyarakat, dan negara ataupun orang lain,
10. Menjunjung
tinggi tujuan dan cita-cita Nasional.
C.
Ciri-ciri
Demokrasi Pancasila
Dalam bukunya, Pendidikan Pembelajaran
dan Penyebaran Kewarganegaraan, Idris Israil (2005:52-53) menyebutkan ciri-ciri
demokrasi Indonesia sebagai berikut:
1. Kedaulatan
ada di tangan rakyat.
2. Selalu
berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong.
3. Cara
pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat,
4. Tidak
kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi.
5. Diakui
adanya keselarasan antara hak dan kewajiban.
6. Menghargai
hak asasi manusia.
7. Ketidaksetujuan
terhadap kebijaksanaan pemerintah dinyatakan dan disalurkan melalui wakil-wakil
rakyat. Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan pemogokan karena merugikan
semua pihak.
8. Tidak
menganut sistem monopartai.
9. Pemilu
dilaksanakan secara luber.
10. Mengandung
sistem mengambang.
11. Tidak
kenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas.
12. Mendahulukan
kepentingan rakyat atau kepentingan umum.
A.
Sistem
Pemerintahan Demokrasi Pancasila
Landasan formil dari periode Republik
Indonesia III ialah Pancasila, UUD’45 serta Ketetapan-ketetapan MPRS. Sedangkan
sistem pemerintahan demokrasi Pancasila menurut prinsip-prinsip yang terkandung
di dalam Batang Tubuh UUD 1945 berdasarkan tujuh sendi pokok, yaitu sebagai
berikut:
1) Indonesia
ialah negara yang berdasarkan hokum. Negara Indonesia berdasarkan hukum
(Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini
mengandung arti bahwa baik pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya
dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan tindakannya
bagi rakyat harus ada landasan hukumnya. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi
semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
2) Indonesia
menganut sistem konstitusional Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional
(hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak
terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan bahwa pemerintah dalam
melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan konstitusi, di
samping oleh ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang merupakan pokok
konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.
3) Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi. Seperti
telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa
(kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR
mempunyai tugas pokok, yaitu:
a. Menetapkan
UUD;
b. Menetapkan
GBHN; dan
c. Memilih
dan mengangkat presiden dan wakil presiden
Wewenang
MPR, yaitu:
a. Membuat
putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, seperti penetapan
GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden;
b. Meminta
pertanggungjawaban presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN;
c. Melaksanakan
pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
d. Mencabut
mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila
presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan UUD;
e. Mengubah
undang-undang.
4) Presiden
adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara
pemerintah negara tertinggi. Presiden selain diangkat oleh majelis juga harus
tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Presiden adalah Mandataris MPR
yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
5) Pengawasan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR,
tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang
oleh presiden dan DPR harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang
termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus mendapat
persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislative ialah hak inisiatif, hak
amandemen, dan hak budget. Hak DPR di bidang pengawasan meliputi:
a. Hak
tanya/bertanya kepada pemerintah;
b. Hak
interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah;
c. Hak
Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah;
d. Hak
Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal;
e. Hak
Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.
6) Menteri
Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada
DPR. Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri
negara. Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden.
Berdasarkan hal tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah kabinet kepresidenan/presidensil.
Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan
pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam
prakteknya berada di bawah koordinasi presiden.
7) Kekuasaan
Kepala Negara tidak tak terbatas. Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada
DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus
memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat
dibubarkan oleh presiden dan semua anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR.
DPR sejajar dengan presiden.
B.
Fungsi
Demokrasi Pancasila
Adapun fungsi demokrasi Pancasila adalah sebagai
berikut:
1. Menjamin
adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara. Contohnya:
a. Ikut
menyukseskan Pemilu;
b. Ikut
menyukseskan Pembangunan;
c. Ikut
duduk dalam badan perwakilan/permusyawaratan.
2. Menjamin
tetap tegaknya negara RI,
3. Menjamin
tetap tegaknya negara kesatuan RI yang mempergunakan sistem konstitusional,
4. Menjamin
tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila,
5. Menjamin
adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara lembaga negara,
6. Menjamin
adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,
Contohnya:
a. Presiden
adalah Mandataris MPR,
b. Presiden
bertanggung jawab kepada MPR
F.
Beberapa
Perumusan Mengenai Demokrasi Pancasila
Dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik,
Prof. Miriam Budiardjo mengemukakan beberapa perumusan mengenai Demokrasi
Pancasila yang diusahakan dalam beberapa seminar, yakni:
1. Seminar
Angkatan Darat II, Agustus 1966
a. Bidang
Politik dan Konstitusional
1. Demokrasi
Pancasila seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar1945, yang berarti
menegakkan kembali azas negara-negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan
oleh segenap warga negara, dimana hak-hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif,
maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan dimana penyalahgunaan kekuasaan,
dapat dihindarkan secara institusionil. Dalam rangka ini harus diupayakan
supaya lembaga-lembaga negara dan tata kerja orde baru dilepaskan dari ikatan
pribadi dan lebih diperlembagakan (depersonalization, institusionalization )
2. Sosialisme
Indonesia yang berarti masyarakat adil dan makmur.
3. Clan
revolusioner untuk menyelesaikan revolusi , yang cukup kuat untuk mendorong
Indonesia ke arah kemajuan sosial dan ekonomi sesuai dengan tuntutan-tuntutan
abad ke-20.
b. Bidang
Ekonomi
Demokrasi ekonomi sesuai dengan
azas-azas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai ekonomi dalam
Undang-undang Dasar 1945 yang pada hakekatnya, berarti kehidupan yang layak
bagi semua warga negara, yang antara lain mencakup :
1. Pengawasan
oleh rakyat terhadap penggunaan kekayaan dan keuangan Negara.
2. Koperasi
3. Pengakuan
atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaannya
4. Peranan
pemerintah yang bersifat pembina, penunjuk jalan serta pelindung.
2. Musyawarah
Nasional III Persahi : The Rule of Law, Desember 1966
Azas negara hukum Pancasila mengandung
prinsip:
a. Pengakuan
dan perlindungan hak azasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik,
hukum, sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan.
b. Peradilan
yang bebas dan tidak memihak, tidak terpengaruh oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan
lain apapun.
c. Jaminan
kepastian hukum dalam semua persoalan. Yang dimaksudkan kepastian hukum yaitu
jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam
melaksanakannya.
d. Symposium
Hak-hak Azasi Manusia, Juni 1967 Demokrasi Pancasila, dalam arti demokrasi yang
bentuk-bentuk penerapannya sesuai dengan kenyataan-kenyataan dan cita-cita yang
terdapat dalam masyarakat kita, setelah sebagai akibat rezim Nasakom sangat
menderita dan menjadi kabur, lebih memerlukan pembinaan daripada pembatasan
sehingga menjadi suatu ‘political culture’ yang penuh vitalitas.
Berhubung dengan keharusan kita di tahun-tahun mendatang untuk mengembangkan a rapidly expanding economy, maka diperlukan juga secara mutlak pembebasan dinamika yang terdapat dalam masyarakat dari kekuatan-kekuatan yang mendukung Pancasila. Oleh karena itu diperlukan kebebasan berpolitik sebesar mungkin. Persoalan hak-hak azasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun mendatang harus ditinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai keseimbangan yang wajar di antara 3 hal, yaitu:
Berhubung dengan keharusan kita di tahun-tahun mendatang untuk mengembangkan a rapidly expanding economy, maka diperlukan juga secara mutlak pembebasan dinamika yang terdapat dalam masyarakat dari kekuatan-kekuatan yang mendukung Pancasila. Oleh karena itu diperlukan kebebasan berpolitik sebesar mungkin. Persoalan hak-hak azasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun mendatang harus ditinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai keseimbangan yang wajar di antara 3 hal, yaitu:
a. Adanya
pemerintah yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan.
b. Adanya
kebebasan yang sebesar-besarnya.
c. Perlunya
untuk membina suatu rapidly expanding economy.
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Penyimpangan
Terhadap Demokrasi Pancasila
Penyimpangan
adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan (conformity)
terhadap kehendak masyarakat. Dalam
sejarah ketatanegaraan, demokrasi sebagai sebuah sistem politik (pemerintahan)
telah mengalami dinamika dan pergumulan yang sangat panjang. Kita pernah
mengenal berbagai macam istilah demokrasi, seperti Demokrasi Parlementer atau
Liberal (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Demokrasi Pancasila
(1965-1998).
Pada kesempatan kali ini
perkenankanlah penulis untuk mengurai tentang Demokrasi Pancasila. Demokrasi
Pancasila merupakan konsep dan sistem pemerintahan yang lahir sebagai koreksi
atas penerapan Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin di bawah kendali
kepemimpinan Soekarno yang dinilai telah banyak melakukan penyimpangan terhadap
konstitusi dan ideologi negara, sekaligus bertentangan dengan konsep demokrasi
itu sendiri. Diantara bentuk penyimpangan yang paling parah ialah ditetapkannya
Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No.
III/MPRS/1963. Yang berarti tidak ada mekanisme pergantian kekuasaan eksekutif
lewat pemilihan umum.
Atas dasar itulah Orde Baru tegak
dengan membawa konsep Demokrasi Pancasila dengan sebuah komitmen akan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Awalnya
demokrasi Pancasila menawarkan tiga komponen demokrasi. Pertama,
demokrasi dalam bidang politik yang hakikatnya untuk menegakkan kembali
asas-asas negara hukum dan kepastian hukum. Kedua, demokrasi dalam
bidang ekonomi yang pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua
warga negara. Ketiga, demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya
adalah pengakuan dan perlindungan HAM, serta peradilan yang bebas dan tidak
memihak (A Ubaedillah dkk, 2000).
Sayang sekali, pada penerapannya
komitmen tersebut hanyalah retorika politik belaka. Kebebasan berpendapat
dipasung, praktek KKN merajalela, pelanggaran HAM melebar, seluruh kekuatan
politik maupun ormas-ormas hingga organisasi kemahasiswaan didesak memakai azas
tunggal pancasila. Politic no, economy and stability yes.
Setelah Era Reformasi bergulir,
hampir kita tidak mendengar lagi kata Demokrasi Pancasila, terutama dalam ruang-ruang
diskusi para ahli dan kalangan pengamat. Layaknya bangsa ini sedang mengubur
gagasan tersebut. Demokrasi ala reformasi adalah demokrasi ‘tanpa’ embel-embel
dibelakangnya. Sebagian besar tokoh reformis maupun kelompok-kelompok
pro-demokrasi serasa mengalami trauma yang begitu mendalam setelah kurang lebih
32 tahun hidup di bawah rezim yang mengatasnamakan diri Demokrasi Pancasila,
namun pada kenyataannya tidak demokratis dan tidak pancasilais.
Wacana demokrasi yang dikembangkan
pasca Orde Baru mengarah pada pemberdayaan dan penguatan masyarakat madani (civil
society), pemerintahan yang bersih, penegakan supremasi hukum, penegakan
dan pemenuhan HAM secara sungguh-sungguh. Sekali lagi, di sini demokrasi
dijalankan ‘tanpa’ menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi.
Demokrasi
Pancasila Sebagai Identitas
Bangsa kita hampir telah larut di
tengah proses demokratisasi global. Demokrasi kita dalam prakteknya hampir
tidak memiliki basis ideologi yang jelas, sehingga pemaknaan kita pun terhadap
demokrasi menjadi liar. Demokrasi seperti apa yang hendak dibangun ?. Yang kita
lihat ‘sepenuhnya’ cenderung mengarah kepada demokrasi liberal ala-Barat dengan
selubung ideologi neo-liberalismenya (kapitalisme). Seolah-olah kita banyak
membenarkan tesis Francis Fukuyama dalam The End Of History-nya yang menegaskan bahwa kapitalisme
dan demokrasi liberal sebagai ideologi dan bentuk akhir pemerintahan manusia
yang paling ideal.
Padahal bangsa
Indonesia dari dulu tegak berdiri dengan ideologi Pancasila. Seolah-olah
parameter utama demokratisnya bangsa ini selalu menggunakan standarisasi
demokrasi Barat. Kita hampir lupa bahwa jauh sebelum kemerdekaan, juga terdapat
nilai dan budaya dalam masyarakat Indonesia yang kurang lebih mirip dengan
nilai demokrasi ala-Barat, sekalipun tetap berbeda. Misalnya budaya gotong
royong dan musyawarah dalam memecahkan persoalan bersama.
Sekalipun
konsep demokrasi berasal dari Barat (Yunani), semestinya model demokrasi kita
tidak condong sepenuhnya kepada Barat. Secara kultural pun, dunia Barat dan Timur sama sekali
tidak bisa dipersamakan. Konsepsi kebebasan misalnya, sebagai salah satu
prinsip dan nilai universal demokrasi yang dipahami Barat belum tentu sesuai
dengan kebebasan yang dipahami oleh dunia Timur. Sekalipun keduanya sama-sama
mengapresiasi nilai-nilai universal kebebasan. Sama halnya arti kebebasan yang
dipahami Barat berbeda dengan kebebasan yang dipahami oleh dunia Islam.
Singkatnya, masyarakat timur adalah masyarakat yang sangat kental dengan nuansa
budaya dan agama.
Olehnya itu, di
tengah ‘larutnya’ kita dalam euforia demokrasi ala-Barat, seyogianya bangsa ini
membutuhkan sebuah model demokrasi yang konteks dengan kondisi kebangsaan yang
penuh keragaman. Hemat penulis, model demokrasi yang tepat itu ialah Demokrasi
Pancasila. Sebuah model demokrasi yang bisa menjadi identitas pembeda
dari demokrasi yang dianut oleh negara-negara lain, sekalipun pernah gagal
diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru. Sekiranya kita tidak menyalahkan
gagasan maupun konsep hanya karena yang menjalankannya menjauh dari substansi
gagasan tersebut.
Secara
teoritis, Demokrasi Pancasila ialah demokrasi yang dijiwai dan didasarkan pada
nilai-nilai falsafah atau ideologi Pancasila. Seluruh pola dan praktek
penyelenggaraan pemerintahan negara yang meliputi bidang ekonomi, politik,
sosial, budaya, pendidikan, hukum, maupun pertahanan, disamping
menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi juga mesti disemangati oleh nilai-nilai
Pancasila.
Jika pun hendak
diperbandingkan, demokrasi secara umum dipahami sebagai sebuah sistem
pemerintahan yang menjamin kebebasan dalam berserikat, berpendapat maupun kebebasan
pers, persamaan hak, keadilan
dan kesejahteraan, adalah nilai-nilai yang pada dasarnya juga terkandung dalam
ideologi Pancasila. Ini berarti, secara universal antara nilai demokrasi dan
nilai ideologi Pancasila secara jelas tidak mengandung kontradiksi.
Demokrasi
Pancasila merupakan bentuk demokrasi yang konteks dengan kondisi ke-Indonesiaan
yang beragam dari segi kultural, suku, agama, ras dan golongan. Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan jati diri dan kepribadian bangsa,
yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan (keberagamaan), nilai-nilai
kemanusiaan, persatuan (nasionalisme), musyawarah, dan nilai-nilai keadilan.
Model demokrasi yang mampu membendung pengaruh demokrasi liberal ala-Barat maupun
demokrasi proletariat ala-komunis.
Sebuah model
demokrasi yang jika dijalankan secara konsisten, mampu mencegah munculnya
dominasi kaum pemodal
asing (kapitalisme) yang banyak
menguasai aset-aset negara yang berlindung dibalik topeng kebebasan atau demokrasi ekonomi (liberal). Seperti penguasaan PT. Preefort di Papua, PT. Newmont di
NTB, pertambangan emas di Halmahera, kilang minyak Blok Cepu di Bojonegoro
Jatim, PT. Inco dan Exxon mobil, di mana aspek keadilan sosial diabaikan.
Seperti yang pernah dikesalkan Soekarno semasa hidunya (Anhar Gonggong, 2005), “ ...Di
negeri-negeri sebagai (seperti) Inggris, Nederland, Perantjis, Amerika, dan
lain-lain di mana ‘demokrasi’ telah dijalankan kapitalisme meradjalelanya dan
kaum marhaennja papa sengsara ”.
Sebuah model
demokrasi yang dalam prakteknya mampu menolak bentuk kerjasama ekonomi
(misalnya dalam AFTA) yang hanya menjadikan bangsa Indonesia dalam posisi yang
pasif, dirugikan dan banyak bergantung.
Menolak praktek
demokrasi di mana ruang ekspresi atau kebebasan yang kebablasan tetapi
kebebasan yang bertanggungjawab, berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan dan
kemanusiaan.
2.
Ancaman
Terhadap Demokrasi Pancasila
Ancaman adalah setiap usaha dan
kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan
kedaulatan Negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa.
Jika pancasila hanya menjadi daftar keinginan bersama
(das-sollen) tetapi kosong dalam implementasinya (das-seinnya). Jika pancasila
kehilangan pendukung sebagai konsekuensi atas rendahnya komitmen. Seperti
disinyalir oleh Kompas, sudah menjadi keprihatinan umum, ideologi pancasila
tidak lagi mengambil porsi sentral dalam wacana publik, lebih-lebih dalam
beberapa tahun belakangan ini. Bahkan mulai muncul kekhawatiran tentang kemungkinan
Pancasila digeser oleh ideology lain. Jika terjadi gerak politik keaagamaan
yang mengarah pada politik teokrasi- otoriter yang memaksakan doktrin
androsentris dan mengancam pandangan antroposentris.
Jika terjadi hegemoni budaya (Barat) yang mendalangi
seluruh perjalanan bangsa, yang membuat kita tidak memiliki kemandirian dan
harga diri.
Tantangan Pancasila :
Ditingkat empiris Pancasila telah gagal menjadi
guidance atas prinsip-prinsip yang dirumuskan sendiri dalam tingkat
implementasi, Pancasila telah kehilangan daya tahannya untuk menjaga “kehendak
bersama”.
Kegagalan Pancasila, bukan karena Pancasila tidak memiliki
elemen-elemen yang mempertemukan kebutuhan bersama, tetapi lebih kepada tidak
adanya inkonsistensi dalam penerapannya.
Dalam kenyataanya, elemen-elemen yang mendasari
pembukaan UUD 1945, nyaris menjadi fosil tata nilai. Dalam bidang ekonomi pasal
33 nyaris tidak pernah secara sungguh-sungguh menjadi dasar kebijakan ekonomi
makro. Seluruh kebijakan yang ada seluruhnya didikte oleh neo l.liberalisme
lewat consensus Washington dengan sepuluh prinsipnya. Dalam dunia pendidikan
rencana mem-BHP-kan 81 perguruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia, menjadi
kontradiktif dengan jiwa Pasal 31 UUD 1945 (kemal, Kompas, 4 Maret 2008) Sikap
kompetitip Pancasila dengan agama, sebagai system nilai yang memiliki watak dan
karakteristik yang berbeda, telah melahirkan kompetisi baik dalam bidang
Ideologi (Politik) maupun sebagai pendefmisi relitas. Meskipun tidak ada
perbedaan yang signifikan antara partai berlandaskan ideology agama dengan
partai berlandaskan ideology sekuler, kecuali system simboliknya, secara ideologis
keduanya tidak mudah dipertemukan dan berpotensi melahirkan konflik.
Dimasa depan ketegangan baru yang mungkin terjadi,
adalah polarisasi pemahaman keagamaan yang telah menjamur pasca-orde baru.
Derasnya pemahaman konservatisme keagamaan model ichwanul-Muslimin atau
wahabiya, khusunya dikalangan mahasiswa dikampus-kampus umum, diduga akan
mempengaruhi pergumulan baru dalam demokrasi di Indonesia.
Kecendurngan seperti ini penting untuk dipastikan
sketsanya, pertama-tama bukan untuk menghentikan kekhawatiran yang mungkin
terjadi, tetapi lebih pada pencegahan kemungkinan terjadinya “clash culture”
dan mentradisikan dialog-dialog agar klaim tafsir agama tidak terjebak
pemutlakan tafsir yang mematikan.
Progonosisi Masa Depan.
Dalam kaitannya dengan pancasila kalau kita berfikir
optimistik, maka proses dialektika sejarah, tidak seluruhnya didorong oleh
kekuatan atau “driving force” yang elemen-elemennya premisnya selalu bersifat
positif. Kemampuan peradaban hanya lahir melalui proses dialektika yang rumit.
Dialektika tidak pernah bisa dihentikan oleh priode waktu, seperti disinyalir
oleh Fukuyama dalam the end of history. Kita harus membangun “historical force”
yang tidak mengulang kesalahan sejarah masa lalu atau tidak produktif seperti
yang terjadi sekarang ini. Sebaliknya jika kita berfikir pesimis, maka akan
terjadi “clash ideolois” mengancam perpecahan bangsa di masa depan.
Dalam kaitannya dengan kebudayaan arah kebudayaan,
dalam konteks determinasi global yang sekarang terjadi, perlu adanya kesadaran
kebutuhan proteksi terbatas atas apa yang selama ini menjadi consensus nasional
(UUD 1945). Ideology dibelakang consensus Washington sebagai pengganggu
penerapan pasal 33 misalnya, harus dianggap sebagai salah satu “ancaman” atas
kemandirian budaya. Apalagi lahirnya IMF dan World Bank (1944) sejak awal
dilandasi oleh upaya ideologis untuk menjaga “proyek modernisasi”.
Dalam kaitannya dengan agama konservatisme keagamaan
yang berusaha memutar jarum sejarah dalam bentuk romantisasi islam klasik abad
7 dengan menyodorkan tradisi arabisasi, bisaanya tidak memiliki daya tahan lama
karena tidak adanya strategi adapatasi, tetapi proses islamisasi model ini
cenderung merisaukan. Istrumentalisasi kekerasan dan klaim kemutlakan
kebernaran atas tafsir yang diyakini, telah mengganggi kebutuhan kemapanan
budaya demokrasi yang dibutuhkan. Pranata demokrasi yang telah susah payah
diracik dari kemelut Orde Baru bisa terdekontruksi lewat semangat teokrasi yang
anti : Demokrasi, pluralisme, yang bertentangan dengan kebutuhan bangsa
Indonesia.
Berikut adalah beberapa contoh artikel mengenai
tindakan atau suatu hal yang dapat
mengancam Pancasila sebagai suatu pandangan.
o
Kisruh
DPT Ancaman bagi Demokrasi
Pemilihan
presiden yang jujur, adil, dan bersih, akan menghasilkan kepemimpinan nasional
yang bermartabat. Karena itu, kisruh DPT mestinya dituntaskan secepatnya oleh
KPU. Apa lagi ada kekhawatiran, para elite politik yang berkuasa akan
mengorbankan kualitas demokrasi dalam pilpres demi kepentingan sempit.
Anggota
tim advokasi Badan Pemenangan Megawati-Prabowo, Gayus Lumbuun menilai, kisruh
Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pemilu legislatif dan Pilpres 2009 sebagai
kejahatan serius terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
“DPT
yang kisruh ini merupakan kejahatan terhadap HAM. Nanti kita cari siapa yang
salah. Ini melanggar tiga undang-undang, termasuk UU Hak Asasi Manusia,” kata
Gayus.
Para
analis menyatakan, kisruh DPT tidak dapat dibenarkan karena menghalangi
masyarakat menggunakan hak mereka untuk memilih dalam pemilu. Di samping itu, anggaran
dari APBN yang telah dikucurkan untuk medukung penyusunan DPT terbilang besar,
namun hasilnya justru tidak memuaskan.
“Ini
persoalan mendasar dan harusnya dipecahkan lebih cepat,” kata Umar S. Bakry,
Direktur Lembaga Survei Nasional. “Anggaran dari APBN itu besar, hampir Rp 1
triliun. Itu besar sekali. Tetapi kok hasilnya karut-marut?”
Dalam
pilpres kali ini, kita memang menghadapi masalah serius akibat persoalan DPT.
Sampai hari ini, DPT bermasalah ternyata yang belum selesai masih 16 provinsi.
Sementara penutupan 68.000 tempat pemungutan suara (TPS) juga dikhawatirkan
bisa mempersulit pemilih sekaligus mengurangi dukungan kalau dilakukan di
daerah basis.
Penutupan
TPS-TPS itu dinilai para pengamat, akan menguntungkan calon incumbent, namun
merugikan para pesaing politiknya dalam pilpres saat ini. “Ini soal politik
sekaligus soal moral dan etika,” kata Ray Rangkuti, pengamat pemilu.
Dalam
hal ini, pada orasi politiknya di Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (30/6)
capres Megawati Soekarnoputri mengajak semua pihak untuk terus menegakkan
demokrasi. Keinginan menang dalam pemilihan umum tidak boleh mengorbankan
kualitas demokrasi.
Mencermati
pemilu legislatif 9 April 2009, banyak pihak merasa khawatir. Apalagi sampai
sekarang proses sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi pun belum semuanya
terselesaikan, akibat banyaknya gugatan dan protes politik.
Situasi
ini tak menguntungkan banyak pihak. Proses demokratisasi di Indonesia, utamanya
dalam pilpres sekarang yang mengandung berbagai masalah, ditengarai pada
akhirnya pasti mengundang reaksi berupa konflik-konflik akibat persaingan dan
perseteruan politik.
Persoalannya,
bagaimana elit dan publik menyikapi situasi ini? Dalam hal ini, secara normatif
Prof Bahtiar Effendy dari UIN Jakarta melihat, semua itu merupakan bagian dari
proses transformasi politik yang mesti ditata ulang dan diperbaiki.
Proses-proses politik yang berjalan pada era reformasi belum sepenuhnya sesuai
harapan.
“Saya
melihat, masih banyak anomali dan distorsi dalam kehidupan politik yang perlu
ditata ulang untuk menuju demokrasi yang lebih berkualitas,’” kata doktor
lulusan Ohio State University, AS, itu.
Barangkali,
inilah makna dari artikulasi masyarakat politik dan intelektual mengenai
singifikansi pemilu jurdil, damai, dan bersih, agar bobot demokrasi kita kian
terjaga sebagai prasyarat bagi langkah maju dan pendalaman demokrasi ke depan.
o
Dewan
Revolusi Islam sebagai Ancaman bagi Demokrasi
Terangkatnya
kabar tentang Dewan Revolusi Islam (DRI) menunjukkan bahwa tujuan gerakan
radikal anti-Ahmadiyah bukan untuk meluruskan akidah. Di belakang itu ada
politik kekuasaan. Kabar tentang Dewan Revolusi itu semula nampak seperti
sebuah dagelan. Itu berawal dari kabar yang beredar di media sosial, awal pekan
ketiga Maret ini, tentang berdirinya sebuah Dewan Revolusi Islam yang
maklumatnya bisa diakses di sebuah situs di Internet.
Kalau
dibaca, format DRI mendekati struktur sebuah pemerintahan. Di situ ada Kepala
Negara (bukan Presiden) yang akan diisi oleh Habib Rizieq Shihab. Wakilnya
adalah Wakil Amir Majelis Mujahiddin, Abu Jibril. Di atasnya ada Dewan Fuqaha,
yang antara lain diisi: KH Abu Bakar Ba’asyir, KH Makruf Amin (Ketua MUI), dan
KH Hasyim Muzadi (mantan Ketua PBNU).
Dalam
DRI, juga terdapat nama sejumlah menteri, antara lain: Munarman SH (sebagai
Menhankam), KH Cholil Ridwan (sebagai Menteri Agama), Ridwan Saidi (Menteri
Kebudayaan), Ahmad Sumargono (Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal). Selain
itu ada dua tokoh partai politik Islam: Ali Mochtar Ngabalin (sebagai Menteri
Luar Negeri) dan MS Kaban (Menteri Dalam Negeri). Sebagai Menkopolkam adalah
Tyasno Sudarto.
Di
bagian akhir maklumat, tertulis pernyataan tegas: “Jika pasca pansus ini keadaan
vacuum, DRI siap ambil alih kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan
Indonesia dengan syariat Islam….” Selain itu ada pula undangan bagi pembaca:
“Siapa mau ikhlas gabung untuk menjadi para garda revolusi Islam silakan
daftar.”
Penandatangan
maklumat ini adalah M. Al Khaththath. Tokoh yang berperan besar dalam
konsolidasi kelompok-kelompok radikal ini adalah salah seorang pimpinan Hizbut
Tahrir Indonesia, selain berposisi sebagai Sekjen Forum Umat Islam.
Informasi
semacam ini memang banyak dibuat dan beredar di berbagai milis. Lazimnya
sekadar untuk lelucon. Tapi untuk soal DRI, ternyata lain. Ketika berita ini
mencuat, Al Khaththath mengakui bahwa Dewan tersebut memang sempat dibentuk
Maret tahun lalu. Pembentukan DRI dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan
kevakuman pemerintahan akibat kekacauan yang ditimbulkan kasus Bank Century.
Nyatanya, kata Al Khaththath lagi, kevakuman itu tak terjadi. Karena itu, Dewan
Revolusi tak beroperasi.
Kalau
cerita selesai di situ, gagasan DRI bisa diabaikan begitu saja. Masalahnya, ada
rangkaian fakta yang menunjukkan bahwa ini sebenarnya jauh dari sederhana.
Salah
satu fakta penting adalah bahwa kata ‘revolusi’ itu ternyata terus digunakan.
Sejak awal tahun, istilah itu nampak sebagai kata kunci gerakan kelompok-kelompok
Islam radikal. Saat peringatan Maulid Akbar Nabi Muhammad SAW di bilangan
Petamburan yang digelar DPP FPI pertengahan Februari lalu terdapat spanduk
besar yang bertuliskan “Bubarkan Ahmadiyah atau Revolusi!”
Dalam
orasinya pada unjuk rasa gabungan FPI, FUI, dan sejumlah ormas lain yang
mendesak pembubaran Ahmadiyah di Bundaran HI pada awal Maret lalu, Rizieq
Shihab juga dengan tegas menyatakan “Presiden, bubarkan Ahmadiyah atau
revolusi.” Ketua Front Pembela Islam (FPI) yang juga menjabat sebagai kepala
negara DRI itu juga menegaskan bahwa istana adalah tempat setan.
Tabloid
Suara Islam edisi 108 (4-18 Maret) yang merupakan media kalangan Islam
radikal mengangkat headline ‘Saatnya Revolusi’. Tulisan-tulisan di edisi itu
melihat kemungkinan gelombang revolusi yang terjadi di Timur Tengah akan
menerpa Indonesia. Dan Ahmadiyah adalah isu utama yang bisa menggulingkan SBY.
Pernyataan-pernyataan
para tokoh garis keras dalam edisi itu memang mengindikasikan dorongan agar
revolusi Islam berlangsung di Indonesia. Abu Jibril (Wakil Amir Majelis
Mujahiddin) meminta MUI bersedia tampil memimpin revolusi. Katanya lagi:
“Memang saat ini umat Islam Indonesia masih takut mati. Kita harus banyak
belajar dari umat Islam di Mesir, Tunisia, dan Libya yang tak takut lagi
terhadap kematian demi perjuangan menegakkan kebenaran.”
Di
dalam Rubrik Galeri Opini beragam pandangan serupa tersaji. Sri Bintang
Pamungkas menyatakan: “Ahmadiyah bisa menjadi salah satu pemicu revolusi yang
akan menyulut kemarahan rakyat yang sudah lama ditahan-tahan.” Rizal Ramli
(mantan Menko Perekonomian) menyebut ‘Agustus SBY Lengser’. Alfian Tanjung
(Ketua Umum Taruna Muslim) menyatakan, ‘perlu dibentuk pasukan revolusi Islam’.
Pemimpin redaksi tabloid tersebut, Aru Syeiff Abdullah, menulis kolom khusus
berjudul “Revolusi Saatnya Tiba?”
Dalam
edisi berikutnya (18 Maret-1 April), Suara Islam kembali menyuarakan
tuntutannya. Gagasannya tetap: ‘Bubarkan Ahmadiyah atau Revolusi!’ Suara Islam
menampilkan sebuah maklumat yang menyatakan bahwa bila Presiden tetap enggan
membubarkan Ahmadiyah, berarti Presiden akan berhadapan dengan Allah dan Rasul-Nya,
dan juga layak dimakzulkan karena telah melanggar sumpah jabatan. Ada pula
Ridwan Saidi, mantan aktivis HMI, yang mengatakan: “September SBY Jatuh”.
Wawancara
panjang dengan Munarman (Ketua Tim Advokasi FUI) membawa semangat serupa.
Menurutnya, isu Ahmadiyah seharusnya menjadi pemersatu umat Islam dalam melihat
rezim SBY sebagai ‘reprsentasi kekuatan jaringan zionis internasional’. Dia
juga memperkirakan bila dalam dua bulan, setiap hari terus-menerus aksi
dilakukan disertai pendudukan gedung DPR/MPR, SBY (seperti Soeharto) bisa
mundur. Bila SBY jatuh, katanya, sebuah pemerintahan Islam akan berdiri. “Bukan
revolusi Mesir yang pindah ke Indonesia,” katanya, “justru kita akan memulai
revolusi untuk menerapkan syariat di Indonesia.”
Apa
yang ingin ditunjukkan di sini adalah bahwa gagasan memperoleh kekuasaan
politik sebagaimana tercermin dalam pembentukan DRI pada 2010 itu bukan sekadar
obrolan di mushalla. Kalau dilihat mereka yang terlibat di dalamnya memang
adalah kelompok-kelompok Islam politik yang tersingkir akibat proses demokrasi.
Mereka bercita-cita memperoleh bagian dalam tampuk kekuasaan, tapi selama ini
tak pernah diberi tempat oleh sang Presiden yang mungkin juga sakit hati dengan
isu ‘Kristen’ yang dilekatkan pada istrinya menjelang pemilu 2009. Mereka
bahkan tak dilirik oleh partai politik dengan identitas keislaman yang cukup
berpengaruh, PKS. Dalam pemilu, suara kalangan garis keras ini sangat tidak
berarti.
Dengan
demikian, hasrat untuk mendelegitimasi pemerintahan SBY sangat mungkin melatarbelakangi
serangan politik mereka yang berkelanjutan. Hanya saja, untuk itu, kalangan ini
harus terlihat cukup besar dan memiliki daya tekan dan daya tawar yang kuat.
Mereka semula berharap kasus Bank Century dapat dimanfaatkan. Ketika itu
ternyata tak berlanjut, mereka memperoleh satu isu baru yang nyatanya
mengangkat identitas dan kekohesifan mereka secara lebih menonjol: Ahmadiyah
dan mungkin isu-isu sejenis lain.
Dengan
mengangkat isu Ahmadiyah, kelompok ini memperoleh daya ungkit yang dibutuhkan.
Dengan mencitrakan penyerangan terhadap Ahmadiyah sebagai bagian dari jihad
melawan kesesatan, kaum radikal ini memposisikan diri sebagai ‘penyelamat’
Islam dari keburukan rezim pemerintahan yang, menurut mereka, dikendalikan oleh
kekuatan-kekuatan asing. Dan serangan demi serangan yang mereka lakukan turut
membangun kesan kebesaran kekuatan yang mereka miliki. Apalagi, secara
berkelanjutan, serangan mereka melibatkan ribuan orang yang bersedia bertempur
di jalan untuk membela Islam.
Kalau
memang demikian strategi mereka, itu nampaknya menemui sasaran. Kalangan garis
keras ini sekarang benar-benar menjadi kelompok penekan yang harus
diperhitungkan. Dalam konteks itu, apa yang dikabarkan saluran televisi
internasional, Al Jazeera, pada 22 Maret 2011, menjadi tampak sangat
masuk akal.
Dalam
pemberitaan itu, Al Jazeera memaparkan adanya kerjasama antara
kelompok-kelompok Islam garis keras Indonesia dengan pensiunan perwira militer
yang ingin menggulingkan Presiden SBY. Tak kurang dari mantan KSAD, Jenderal
(purn) Tyasno Sudarto, mengakui bahwa kelompok militer memang menemukan
kesamaan tujuan dengan kelompok-kelompok Islam yang ingin agar SBY turun dari
tampuk kekuasaan. “Melalui revolusi damai,” ujarnya.
Al
Jazeera juga mewawancarai tokoh-tokoh Islam garis keras, termasuk Al
Khaththath, yang mengaku didatangi perwira militer. Al Khaththath mengatakan,
“Saya hanya bisa mengatakan, bahwa saya memang didekati perwira militer, itu
saja.” Namun, narasumber lain, bicara lebih lugas. Menurut pimpinan organisasi
Gerakan Reformasi Islam (Garis), Chep Hernawan, dia memang didatangi perwira
militer yang menyatakan dukungan atas aksi-aksi kelompok Islam menuntut SBY
untuk membubarkan Ahmadiyah.
Satu
hari kemudian, Chep bahkan menyatakan pada Tempo Interaktif, rencana
mereka untuk menggulingkan SBY didukung beberapa Jenderal bintang tiga.
“Sekitar 1-2 bulan lalu bertemu, mereka berikan dukungan moril dan siap
membantu,” jelas Chep.
Menurut
Chep, para purnawirawan jenderal itu mendekatinya akhir Januari, atau sekitar
sebulan sebelum penyerbuan yang menewaskan tiga orang Ahmadiyah di Cikeusik
terjadi.
Sang
Jenderal, kata Chep, muak dengan kebohongan pemerintahan SBY. “Mereka bertanya,
apa yang diangkat untuk menumbangkan Susilo Bambang Yudhoyono. Isunya apa?
Kasus Century tidak mampu. Barangkali isu Ahmadiyah,” ujar Chep, sebagaimana
dikutip Tempo.
Rangkaian
fakta itu menunjukkan bahwa isu tentang upaya membangun kekuatan politik untuk
memperoleh bagian kekuasaan oleh kelompok-kelompok Islam radikal sama sekali
jauh dari remeh. Ahmadiyah, dalam hal ini, sekadar menjadi korban seperti kaum
Yahudi di zaman awal kemunculan Nazi di Jerman sebelum Perang Dunia II.
Kehancuran Ahmadiyah akan menjadi sumber tenaga dan kekuatan bagi kelompok
Dewan Revolusi Islam untuk menguasai panggung politik. Dan strategi mereka
terbukti sukses.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam penerapannya Demokrasi Pancasila mengalami
banyak penyimpangan dan ancaman yang dapat menyebabkan melengsernya Pancasila
sebagai dasar Negara, Ideologi Negara dan landasan filosofi Negara. Demokrasi Pancasila merupakan konsep
dan sistem pemerintahan yang lahir sebagai koreksi atas penerapan Demokrasi
Parlementer dan Demokrasi Terpimpin di bawah kendali kepemimpinan Soekarno yang
dinilai telah banyak melakukan penyimpangan terhadap konstitusi dan ideologi
negara, sekaligus bertentangan dengan konsep demokrasi itu sendiri. Diantara
bentuk penyimpangan yang paling parah ialah ditetapkannya Presiden Soekarno
sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Yang
berarti tidak ada mekanisme pergantian kekuasaan eksekutif lewat pemilihan
umum.
Jika pancasila kehilangan pendukung sebagai konsekuensi
atas rendahnya komitmen maka sudah menjadi keprihatinan umum, ideologi
pancasila tidak lagi mengambil porsi sentral dalam wacana publik, lebih-lebih
dalam beberapa tahun belakangan ini. Bahkan mulai muncul kekhawatiran tentang
kemungkinan Pancasila digeser oleh ideology lain. Jika terjadi gerak politik
keaagamaan yang mengarah pada politik teokrasi- otoriter yang memaksakan
doktrin androsentris dan mengancam pandangan antroposentris.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_21/ppkn203_07.html
http://www.perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/demokrasi-
pancasila.html
http://www.google.com
http://www.majalahteras.com/2009/06/demokrasi-dalam-bingkai-pancasila/
http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=21&fname=ppkn203_07.html
Demokrasi Pancasila