AyuWage Services - Get Paid to Visits Sites and Complete Surveys

Friday, October 5, 2012

Demokrasi Pancasila



LANDASAN TEORI

A.   Pengertian Demokrasi Pancasila
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Menurut Wikipedia Indonesia, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang Undang Dasar 1945. Selain dari itu Undang-Undang Dasar kita menyebut secara eksplisit 2 prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:
                   I.            Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat).
   Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat).
                II.            Sistem Konstitusionil
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarkan 2 istilah Rechstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia, yaitu ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian demokrasi Indonesia mengandung arti di samping nilai umum, dituntut nilai-nilai khusus seperti nilai-nilai yang memberikan pedoman tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, tanah air dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah dan masyarakat, usaha dan krida manusia dalam mengolah lingkungan hidup. Pengertian lain dari demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (demokrasi pancasila). Pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham Lincoln, mantan presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa demokrasi suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, berarti pula demokrasi adalah suatu bentuk kekuasaan dari – oleh – untuk rakyat. Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktik, demos menyiratkan makna diskriminatif. Demos bukan untuk rakyat keseluruhan, tetapi populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal memiliki hak preogratif forarytif dalam proses pengambilan/pembuatan keputusan menyangkut urusan publik atau menjadi wakil terpilih, wakil terpilih juga tidak mampu mewakili aspirasi yang memilihnya.

   Secara ringkas, demokrasi Pancasila memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
1.      Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.
2.      Dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
3.      Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab social.
4.      Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.
B.   Prinsip Pokok Demokrasi Pancasila
Prinsip merupakan kebenaran yang pokok/dasar orang berfikir, bertindak dan lain sebagainya. Dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara umum, terdapat 2 landasan pokok yang menjadi dasar yang merupakan syarat mutlak untuk harus diketahui oleh setiap orang yang menjadi pemimpin negara/rakyat/masyarakat/organisasi/partai/keluarga, yaitu:
1.      Suatu negara itu adalah milik seluruh rakyatnya, jadi bukan milik perorangan atau milik suatu keluarga/kelompok/golongan/partai, dan bukan pula milik penguasa negara.
2.      Siapapun yang menjadi pemegang kekuasaan negara, prinsipnya adalah selaku ‘pengurus’ rakyat, yaitu harus bisa bersikap dan bertindak adil terhadap seluruh rakyatnya, dan sekaligus selaku ‘pelayan’ rakyat, yaitu tidak boleh/bisa bertindak zalim terhadap ‘tuannya’, yakni rakyat.
Adapun prinsip pokok demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:
1.      Pemerintahan berdasarkan hukum: dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan:
a.       Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).
b.      Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas).
c.       Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan MPR.
2.      Perlindungan terhadap hak asasi manusia.
3.      Pengambilan keputusan atas dasar musyawarah.
4.      Peradilan yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh Presiden, BPK, DPR, DPA atau lainnya.
5.      Adanya partai politik dan organisasi sosial politik karena berfungsi “Untuk menyalurkan aspirasi rakyat”.
6.      Pelaksanaan Pemilihan Umum;
7.      Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (pasal 1 ayat 2 UUD 1945),
8.      Keseimbangan antara hak dan kewajiban,
9.      Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat, dan negara ataupun orang lain,
10.  Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita Nasional.

C.   Ciri-ciri Demokrasi Pancasila
Dalam bukunya, Pendidikan Pembelajaran dan Penyebaran Kewarganegaraan, Idris Israil (2005:52-53) menyebutkan ciri-ciri demokrasi Indonesia sebagai berikut:
1.      Kedaulatan ada di tangan rakyat.
2.      Selalu berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong.
3.      Cara pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat,
4.      Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi.
5.      Diakui adanya keselarasan  antara hak dan kewajiban.
6.      Menghargai hak asasi manusia.
7.      Ketidaksetujuan terhadap kebijaksanaan pemerintah dinyatakan dan disalurkan melalui wakil-wakil rakyat. Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan pemogokan karena merugikan semua pihak.
8.      Tidak menganut sistem monopartai.
9.      Pemilu dilaksanakan secara luber.
10.  Mengandung sistem mengambang.
11.  Tidak kenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas.
12.  Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan umum.



A.   Sistem Pemerintahan Demokrasi Pancasila
Landasan formil dari periode Republik Indonesia III ialah Pancasila, UUD’45 serta Ketetapan-ketetapan MPRS. Sedangkan sistem pemerintahan demokrasi Pancasila menurut prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Batang Tubuh UUD 1945 berdasarkan tujuh sendi pokok, yaitu sebagai berikut:
1)      Indonesia ialah negara yang berdasarkan hokum. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa baik pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan tindakannya bagi rakyat harus ada landasan hukumnya. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
2)      Indonesia menganut sistem konstitusional Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.
3)      Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi. Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok, yaitu:
a.       Menetapkan UUD;
b.      Menetapkan GBHN; dan
c.       Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden
Wewenang MPR, yaitu:
a.       Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, seperti penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden;
b.      Meminta pertanggungjawaban presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN;
c.       Melaksanakan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
d.      Mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan UUD;
e.       Mengubah undang-undang.
4)      Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
5)      Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislative ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget. Hak DPR di bidang pengawasan meliputi:
a.       Hak tanya/bertanya kepada pemerintah;
b.      Hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah;
c.       Hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah;
d.      Hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal;
e.       Hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.
6)      Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri negara. Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden. Berdasarkan hal tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah kabinet kepresidenan/presidensil. Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya berada di bawah koordinasi presiden.
7)      Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden.
B.   Fungsi Demokrasi Pancasila
Adapun fungsi demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:
1.      Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara. Contohnya:
a.       Ikut menyukseskan Pemilu;
b.      Ikut menyukseskan Pembangunan;
c.       Ikut duduk dalam badan perwakilan/permusyawaratan.
2.      Menjamin tetap tegaknya negara RI,
3.      Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan RI yang mempergunakan sistem konstitusional,
4.      Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila,
5.      Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara lembaga negara,
6.      Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,
Contohnya:
a.       Presiden adalah Mandataris MPR,
b.      Presiden bertanggung jawab kepada MPR

F.    Beberapa Perumusan Mengenai Demokrasi Pancasila
Dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, Prof. Miriam Budiardjo mengemukakan beberapa perumusan mengenai Demokrasi Pancasila yang diusahakan dalam beberapa seminar, yakni:
1.      Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966
a.       Bidang Politik dan Konstitusional
1.      Demokrasi Pancasila seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar1945, yang berarti menegakkan kembali azas negara-negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, dimana hak-hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan dimana penyalahgunaan kekuasaan, dapat dihindarkan secara institusionil. Dalam rangka ini harus diupayakan supaya lembaga-lembaga negara dan tata kerja orde baru dilepaskan dari ikatan pribadi dan lebih diperlembagakan (depersonalization, institusionalization )
2.      Sosialisme Indonesia yang berarti masyarakat adil dan makmur.
3.      Clan revolusioner untuk menyelesaikan revolusi , yang cukup kuat untuk mendorong Indonesia ke arah kemajuan sosial dan ekonomi sesuai dengan tuntutan-tuntutan abad ke-20.
b.      Bidang Ekonomi
Demokrasi ekonomi sesuai dengan azas-azas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai ekonomi dalam Undang-undang Dasar 1945 yang pada hakekatnya, berarti kehidupan yang layak bagi semua warga negara, yang antara lain mencakup :
1.      Pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekayaan dan keuangan Negara.
2.      Koperasi
3.      Pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaannya
4.      Peranan pemerintah yang bersifat pembina, penunjuk jalan serta pelindung.
2.      Musyawarah Nasional III Persahi : The Rule of Law, Desember 1966
Azas negara hukum Pancasila mengandung prinsip:
a.       Pengakuan dan perlindungan hak azasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan.
b.      Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak terpengaruh oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apapun.
c.       Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan. Yang dimaksudkan kepastian hukum yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.
d.      Symposium Hak-hak Azasi Manusia, Juni 1967 Demokrasi Pancasila, dalam arti demokrasi yang bentuk-bentuk penerapannya sesuai dengan kenyataan-kenyataan dan cita-cita yang terdapat dalam masyarakat kita, setelah sebagai akibat rezim Nasakom sangat menderita dan menjadi kabur, lebih memerlukan pembinaan daripada pembatasan sehingga menjadi suatu ‘political culture’ yang penuh vitalitas.
Berhubung dengan keharusan kita di tahun-tahun mendatang untuk mengembangkan a rapidly expanding economy, maka diperlukan juga secara mutlak pembebasan dinamika yang terdapat dalam masyarakat dari kekuatan-kekuatan yang mendukung Pancasila. Oleh karena itu diperlukan kebebasan berpolitik sebesar mungkin. Persoalan hak-hak azasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun mendatang harus ditinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai keseimbangan yang wajar di antara 3 hal, yaitu:
a.       Adanya pemerintah yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan.
b.      Adanya kebebasan yang sebesar-besarnya.
c.       Perlunya untuk membina suatu rapidly expanding economy.




BAB III
PEMBAHASAN

1.     Penyimpangan Terhadap Demokrasi Pancasila
Penyimpangan adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan (conformity) terhadap kehendak masyarakat. Dalam sejarah ketatanegaraan, demokrasi sebagai sebuah sistem politik (pemerintahan) telah mengalami dinamika dan pergumulan yang sangat panjang. Kita pernah mengenal berbagai macam istilah demokrasi, seperti Demokrasi Parlementer atau Liberal (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Demokrasi Pancasila (1965-1998). 
Pada kesempatan kali ini perkenankanlah penulis untuk mengurai tentang Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila merupakan konsep dan sistem pemerintahan yang lahir sebagai koreksi atas penerapan Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin di bawah kendali kepemimpinan Soekarno yang dinilai telah banyak melakukan penyimpangan terhadap konstitusi dan ideologi negara, sekaligus bertentangan dengan konsep demokrasi itu sendiri. Diantara bentuk penyimpangan yang paling parah ialah ditetapkannya Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Yang berarti tidak ada mekanisme pergantian kekuasaan eksekutif lewat pemilihan umum.
Atas dasar itulah Orde Baru tegak dengan membawa konsep Demokrasi Pancasila dengan sebuah komitmen akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Awalnya demokrasi Pancasila menawarkan tiga komponen demokrasi. Pertama, demokrasi dalam bidang politik yang hakikatnya untuk menegakkan kembali asas-asas negara hukum dan kepastian hukum. Kedua, demokrasi dalam bidang ekonomi yang pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara. Ketiga, demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya adalah pengakuan dan perlindungan HAM, serta peradilan yang bebas dan tidak memihak (A Ubaedillah dkk, 2000).
Sayang sekali, pada penerapannya komitmen tersebut hanyalah retorika politik belaka. Kebebasan berpendapat dipasung, praktek KKN merajalela, pelanggaran HAM melebar, seluruh kekuatan politik maupun ormas-ormas hingga organisasi kemahasiswaan didesak memakai azas tunggal pancasila. Politic no, economy and stability yes.
Setelah Era Reformasi bergulir, hampir kita tidak mendengar lagi kata Demokrasi Pancasila, terutama dalam ruang-ruang diskusi para ahli dan kalangan pengamat. Layaknya bangsa ini sedang mengubur gagasan tersebut. Demokrasi ala reformasi adalah demokrasi ‘tanpa’ embel-embel dibelakangnya. Sebagian besar tokoh reformis maupun kelompok-kelompok pro-demokrasi serasa mengalami trauma yang begitu mendalam setelah kurang lebih 32 tahun hidup di bawah rezim yang mengatasnamakan diri Demokrasi Pancasila, namun pada kenyataannya tidak demokratis dan tidak pancasilais. 
Wacana demokrasi yang dikembangkan pasca Orde Baru mengarah pada pemberdayaan dan penguatan masyarakat madani (civil society), pemerintahan yang bersih, penegakan supremasi hukum, penegakan dan pemenuhan HAM secara sungguh-sungguh. Sekali lagi, di sini demokrasi dijalankan ‘tanpa’ menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi.
Demokrasi Pancasila Sebagai Identitas
Bangsa kita hampir telah larut di tengah proses demokratisasi global. Demokrasi kita dalam prakteknya hampir tidak memiliki basis ideologi yang jelas, sehingga pemaknaan kita pun terhadap demokrasi menjadi liar. Demokrasi seperti apa yang hendak dibangun ?. Yang kita lihat ‘sepenuhnya’ cenderung mengarah kepada demokrasi liberal ala-Barat dengan selubung ideologi neo-liberalismenya (kapitalisme). Seolah-olah kita banyak membenarkan tesis Francis Fukuyama dalam The End Of History-nya yang menegaskan bahwa kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai ideologi dan bentuk akhir pemerintahan manusia yang paling ideal.
Padahal bangsa Indonesia dari dulu tegak berdiri dengan ideologi Pancasila. Seolah-olah parameter utama demokratisnya bangsa ini selalu menggunakan standarisasi demokrasi Barat. Kita hampir lupa bahwa jauh sebelum kemerdekaan, juga terdapat nilai dan budaya dalam masyarakat Indonesia yang kurang lebih mirip dengan nilai demokrasi ala-Barat, sekalipun tetap berbeda. Misalnya budaya gotong royong dan musyawarah dalam memecahkan persoalan bersama.
Sekalipun konsep demokrasi berasal dari Barat (Yunani), semestinya model demokrasi kita tidak condong sepenuhnya kepada Barat. Secara kultural pun, dunia Barat dan Timur sama sekali tidak bisa dipersamakan. Konsepsi kebebasan misalnya, sebagai salah satu prinsip dan nilai universal demokrasi yang dipahami Barat belum tentu sesuai dengan kebebasan yang dipahami oleh dunia Timur. Sekalipun keduanya sama-sama mengapresiasi nilai-nilai universal kebebasan. Sama halnya arti kebebasan yang dipahami Barat berbeda dengan kebebasan yang dipahami oleh dunia Islam. Singkatnya, masyarakat timur adalah masyarakat yang sangat kental dengan nuansa budaya dan agama.
Olehnya itu, di tengah ‘larutnya’ kita dalam euforia demokrasi ala-Barat, seyogianya bangsa ini membutuhkan sebuah model demokrasi yang konteks dengan kondisi kebangsaan yang penuh keragaman. Hemat penulis, model demokrasi yang tepat itu ialah Demokrasi Pancasila. Sebuah  model demokrasi yang bisa menjadi identitas pembeda dari demokrasi yang dianut oleh negara-negara lain, sekalipun pernah gagal diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru. Sekiranya kita tidak menyalahkan gagasan maupun konsep hanya karena yang menjalankannya menjauh dari substansi gagasan tersebut.

Secara teoritis, Demokrasi Pancasila ialah demokrasi yang dijiwai dan didasarkan pada nilai-nilai falsafah atau ideologi Pancasila. Seluruh pola dan praktek penyelenggaraan pemerintahan negara yang meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, hukum,  maupun pertahanan, disamping menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi juga mesti disemangati oleh nilai-nilai Pancasila.
Jika pun hendak diperbandingkan, demokrasi secara umum dipahami sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menjamin kebebasan dalam berserikat, berpendapat maupun kebebasan pers, persamaan hak, keadilan dan kesejahteraan, adalah nilai-nilai yang pada dasarnya juga terkandung dalam ideologi Pancasila. Ini berarti, secara universal antara nilai demokrasi dan nilai ideologi Pancasila secara jelas tidak mengandung kontradiksi.
Demokrasi Pancasila merupakan bentuk demokrasi yang konteks dengan kondisi ke-Indonesiaan yang beragam dari segi kultural, suku, agama, ras dan golongan. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan jati diri dan kepribadian bangsa, yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan (keberagamaan), nilai-nilai kemanusiaan, persatuan (nasionalisme), musyawarah, dan nilai-nilai keadilan. Model demokrasi yang mampu membendung pengaruh demokrasi liberal ala-Barat maupun demokrasi proletariat ala-komunis.
Sebuah model demokrasi yang jika dijalankan secara konsisten, mampu mencegah munculnya dominasi kaum pemodal asing (kapitalisme) yang banyak menguasai aset-aset negara yang berlindung dibalik topeng kebebasan atau demokrasi ekonomi (liberal). Seperti penguasaan PT. Preefort di Papua, PT. Newmont di NTB, pertambangan emas di Halmahera, kilang minyak Blok Cepu di Bojonegoro Jatim, PT. Inco dan Exxon mobil, di mana aspek keadilan sosial diabaikan. Seperti yang pernah dikesalkan Soekarno semasa hidunya (Anhar Gonggong, 2005), “ ...Di negeri-negeri sebagai (seperti) Inggris, Nederland, Perantjis, Amerika, dan lain-lain di mana ‘demokrasi’ telah dijalankan kapitalisme meradjalelanya dan kaum marhaennja papa sengsara ”.
Sebuah model demokrasi yang dalam prakteknya mampu menolak bentuk kerjasama ekonomi (misalnya dalam AFTA) yang hanya menjadikan bangsa Indonesia dalam posisi yang pasif, dirugikan dan banyak bergantung.
Menolak praktek demokrasi di mana ruang ekspresi atau kebebasan yang kebablasan tetapi kebebasan yang bertanggungjawab, berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.





2.     Ancaman Terhadap Demokrasi Pancasila
Ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan Negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa.
Jika pancasila hanya menjadi daftar keinginan bersama (das-sollen) tetapi kosong dalam implementasinya (das-seinnya). Jika pancasila kehilangan pendukung sebagai konsekuensi atas rendahnya komitmen. Seperti disinyalir oleh Kompas, sudah menjadi keprihatinan umum, ideologi pancasila tidak lagi mengambil porsi sentral dalam wacana publik, lebih-lebih dalam beberapa tahun belakangan ini. Bahkan mulai muncul kekhawatiran tentang kemungkinan Pancasila digeser oleh ideology lain. Jika terjadi gerak politik keaagamaan yang mengarah pada politik teokrasi- otoriter yang memaksakan doktrin androsentris dan mengancam pandangan antroposentris.
Jika terjadi hegemoni budaya (Barat) yang mendalangi seluruh perjalanan bangsa, yang membuat kita tidak memiliki kemandirian dan harga diri.

Tantangan Pancasila :
Ditingkat empiris Pancasila telah gagal menjadi guidance atas prinsip-prinsip yang dirumuskan sendiri dalam tingkat implementasi, Pancasila telah kehilangan daya tahannya untuk menjaga “kehendak bersama”.
Kegagalan Pancasila, bukan karena Pancasila tidak memiliki elemen-elemen yang mempertemukan kebutuhan bersama, tetapi lebih kepada tidak adanya inkonsistensi dalam penerapannya.
Dalam kenyataanya, elemen-elemen yang mendasari pembukaan UUD 1945, nyaris menjadi fosil tata nilai. Dalam bidang ekonomi pasal 33 nyaris tidak pernah secara sungguh-sungguh menjadi dasar kebijakan ekonomi makro. Seluruh kebijakan yang ada seluruhnya didikte oleh neo l.liberalisme lewat consensus Washington dengan sepuluh prinsipnya. Dalam dunia pendidikan rencana mem-BHP-kan 81 perguruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia, menjadi kontradiktif dengan jiwa Pasal 31 UUD 1945 (kemal, Kompas, 4 Maret 2008) Sikap kompetitip Pancasila dengan agama, sebagai system nilai yang memiliki watak dan karakteristik yang berbeda, telah melahirkan kompetisi baik dalam bidang Ideologi (Politik) maupun sebagai pendefmisi relitas. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan antara partai berlandaskan ideology agama dengan partai berlandaskan ideology sekuler, kecuali system simboliknya, secara ideologis keduanya tidak mudah dipertemukan dan berpotensi melahirkan konflik.
Dimasa depan ketegangan baru yang mungkin terjadi, adalah polarisasi pemahaman keagamaan yang telah menjamur pasca-orde baru. Derasnya pemahaman konservatisme keagamaan model ichwanul-Muslimin atau wahabiya, khusunya dikalangan mahasiswa dikampus-kampus umum, diduga akan mempengaruhi pergumulan baru dalam demokrasi di Indonesia.
Kecendurngan seperti ini penting untuk dipastikan sketsanya, pertama-tama bukan untuk menghentikan kekhawatiran yang mungkin terjadi, tetapi lebih pada pencegahan kemungkinan terjadinya “clash culture” dan mentradisikan dialog-dialog agar klaim tafsir agama tidak terjebak pemutlakan tafsir yang mematikan.

Progonosisi Masa Depan.
Dalam kaitannya dengan pancasila kalau kita berfikir optimistik, maka proses dialektika sejarah, tidak seluruhnya didorong oleh kekuatan atau “driving force” yang elemen-elemennya premisnya selalu bersifat positif. Kemampuan peradaban hanya lahir melalui proses dialektika yang rumit. Dialektika tidak pernah bisa dihentikan oleh priode waktu, seperti disinyalir oleh Fukuyama dalam the end of history. Kita harus membangun “historical force” yang tidak mengulang kesalahan sejarah masa lalu atau tidak produktif seperti yang terjadi sekarang ini. Sebaliknya jika kita berfikir pesimis, maka akan terjadi “clash ideolois” mengancam perpecahan bangsa di masa depan.
Dalam kaitannya dengan kebudayaan arah kebudayaan, dalam konteks determinasi global yang sekarang terjadi, perlu adanya kesadaran kebutuhan proteksi terbatas atas apa yang selama ini menjadi consensus nasional (UUD 1945). Ideology dibelakang consensus Washington sebagai pengganggu penerapan pasal 33 misalnya, harus dianggap sebagai salah satu “ancaman” atas kemandirian budaya. Apalagi lahirnya IMF dan World Bank (1944) sejak awal dilandasi oleh upaya ideologis untuk menjaga “proyek modernisasi”.
Dalam kaitannya dengan agama konservatisme keagamaan yang berusaha memutar jarum sejarah dalam bentuk romantisasi islam klasik abad 7 dengan menyodorkan tradisi arabisasi, bisaanya tidak memiliki daya tahan lama karena tidak adanya strategi adapatasi, tetapi proses islamisasi model ini cenderung merisaukan. Istrumentalisasi kekerasan dan klaim kemutlakan kebernaran atas tafsir yang diyakini, telah mengganggi kebutuhan kemapanan budaya demokrasi yang dibutuhkan. Pranata demokrasi yang telah susah payah diracik dari kemelut Orde Baru bisa terdekontruksi lewat semangat teokrasi yang anti : Demokrasi, pluralisme, yang bertentangan dengan kebutuhan bangsa Indonesia.

Berikut adalah beberapa contoh artikel mengenai tindakan atau suatu hal  yang dapat mengancam Pancasila sebagai suatu pandangan.

o   Kisruh DPT Ancaman bagi Demokrasi
Pemilihan presiden yang jujur, adil, dan bersih, akan menghasilkan kepemimpinan nasional yang bermartabat. Karena itu, kisruh DPT mestinya dituntaskan secepatnya oleh KPU. Apa lagi ada kekhawatiran, para elite politik yang berkuasa akan mengorbankan kualitas demokrasi dalam pilpres demi kepentingan sempit.
Anggota tim advokasi Badan Pemenangan Megawati-Prabowo, Gayus Lumbuun menilai, kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pemilu legislatif dan Pilpres 2009 sebagai kejahatan serius terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
“DPT yang kisruh ini merupakan kejahatan terhadap HAM. Nanti kita cari siapa yang salah. Ini melanggar tiga undang-undang, termasuk UU Hak Asasi Manusia,” kata Gayus.
Para analis menyatakan, kisruh DPT tidak dapat dibenarkan karena menghalangi masyarakat menggunakan hak mereka untuk memilih dalam pemilu. Di samping itu, anggaran dari APBN yang telah dikucurkan untuk medukung penyusunan DPT terbilang besar, namun hasilnya justru tidak memuaskan.
“Ini persoalan mendasar dan harusnya dipecahkan lebih cepat,” kata Umar S. Bakry, Direktur Lembaga Survei Nasional. “Anggaran dari APBN itu besar, hampir Rp 1 triliun. Itu besar sekali. Tetapi kok hasilnya karut-marut?”
Dalam pilpres kali ini, kita memang menghadapi masalah serius akibat persoalan DPT. Sampai hari ini, DPT bermasalah ternyata yang belum selesai masih 16 provinsi. Sementara penutupan 68.000 tempat pemungutan suara (TPS) juga dikhawatirkan bisa mempersulit pemilih sekaligus mengurangi dukungan kalau dilakukan di daerah basis.
Penutupan TPS-TPS itu dinilai para pengamat, akan menguntungkan calon incumbent, namun merugikan para pesaing politiknya dalam pilpres saat ini. “Ini soal politik sekaligus soal moral dan etika,” kata Ray Rangkuti, pengamat pemilu.
Dalam hal ini, pada orasi politiknya di Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (30/6) capres Megawati Soekarnoputri mengajak semua pihak untuk terus menegakkan demokrasi. Keinginan menang dalam pemilihan umum tidak boleh mengorbankan kualitas demokrasi.
Mencermati pemilu legislatif 9 April 2009, banyak pihak merasa khawatir. Apalagi sampai sekarang proses sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi pun belum semuanya terselesaikan, akibat banyaknya gugatan dan protes politik.
Situasi ini tak menguntungkan banyak pihak. Proses demokratisasi di Indonesia, utamanya dalam pilpres sekarang yang mengandung berbagai masalah, ditengarai pada akhirnya pasti mengundang reaksi berupa konflik-konflik akibat persaingan dan perseteruan politik.
Persoalannya, bagaimana elit dan publik menyikapi situasi ini? Dalam hal ini, secara normatif Prof Bahtiar Effendy dari UIN Jakarta melihat, semua itu merupakan bagian dari proses transformasi politik yang mesti ditata ulang dan diperbaiki. Proses-proses politik yang berjalan pada era reformasi belum sepenuhnya sesuai harapan.
“Saya melihat, masih banyak anomali dan distorsi dalam kehidupan politik yang perlu ditata ulang untuk menuju demokrasi yang lebih berkualitas,’” kata doktor lulusan Ohio State University, AS, itu.
Barangkali, inilah makna dari artikulasi masyarakat politik dan intelektual mengenai singifikansi pemilu jurdil, damai, dan bersih, agar bobot demokrasi kita kian terjaga sebagai prasyarat bagi langkah maju dan pendalaman demokrasi ke depan.



o   Dewan Revolusi Islam sebagai Ancaman bagi Demokrasi
Terangkatnya kabar tentang Dewan Revolusi Islam (DRI) menunjukkan bahwa tujuan gerakan radikal anti-Ahmadiyah bukan untuk meluruskan akidah. Di belakang itu ada politik kekuasaan. Kabar tentang Dewan Revolusi itu semula nampak seperti sebuah dagelan. Itu berawal dari kabar yang beredar di media sosial, awal pekan ketiga Maret ini, tentang berdirinya sebuah Dewan Revolusi Islam yang maklumatnya bisa diakses di sebuah situs di Internet.
Kalau dibaca, format DRI mendekati struktur sebuah pemerintahan. Di situ ada Kepala Negara (bukan Presiden) yang akan diisi oleh Habib Rizieq Shihab. Wakilnya adalah Wakil Amir Majelis Mujahiddin, Abu Jibril. Di atasnya ada Dewan Fuqaha, yang antara lain diisi: KH Abu Bakar Ba’asyir, KH Makruf Amin (Ketua MUI), dan KH Hasyim Muzadi (mantan Ketua PBNU).
Dalam DRI, juga terdapat nama sejumlah menteri, antara lain: Munarman SH (sebagai Menhankam), KH Cholil Ridwan (sebagai Menteri Agama), Ridwan Saidi (Menteri Kebudayaan), Ahmad Sumargono (Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal). Selain itu ada dua tokoh partai politik Islam: Ali Mochtar Ngabalin (sebagai Menteri Luar Negeri) dan MS Kaban (Menteri Dalam Negeri). Sebagai Menkopolkam adalah Tyasno Sudarto.
Di bagian akhir maklumat, tertulis pernyataan tegas: “Jika pasca pansus ini keadaan vacuum, DRI siap ambil alih kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan Indonesia dengan syariat Islam….” Selain itu ada pula undangan bagi pembaca: “Siapa mau ikhlas gabung untuk menjadi para garda revolusi Islam silakan daftar.”
Penandatangan maklumat ini adalah M. Al Khaththath. Tokoh yang berperan besar dalam konsolidasi kelompok-kelompok radikal ini adalah salah seorang pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia, selain berposisi sebagai Sekjen Forum Umat Islam.
Informasi semacam ini memang banyak dibuat dan beredar di berbagai milis. Lazimnya sekadar untuk lelucon. Tapi untuk soal DRI, ternyata lain. Ketika berita ini mencuat, Al Khaththath mengakui bahwa Dewan tersebut memang sempat dibentuk Maret tahun lalu. Pembentukan DRI dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan kevakuman pemerintahan akibat kekacauan yang ditimbulkan kasus Bank Century. Nyatanya, kata Al Khaththath lagi, kevakuman itu tak terjadi. Karena itu, Dewan Revolusi tak beroperasi.
Kalau cerita selesai di situ, gagasan DRI bisa diabaikan begitu saja. Masalahnya, ada rangkaian fakta yang menunjukkan bahwa ini sebenarnya jauh dari sederhana.
Salah satu fakta penting adalah bahwa kata ‘revolusi’ itu ternyata terus digunakan. Sejak awal tahun, istilah itu nampak sebagai kata kunci gerakan kelompok-kelompok Islam radikal. Saat peringatan Maulid Akbar Nabi Muhammad SAW di bilangan Petamburan yang digelar DPP FPI pertengahan Februari lalu terdapat spanduk besar yang bertuliskan “Bubarkan Ahmadiyah atau Revolusi!”
Dalam orasinya pada unjuk rasa gabungan FPI, FUI, dan sejumlah ormas lain yang mendesak pembubaran Ahmadiyah di Bundaran HI pada awal Maret lalu, Rizieq Shihab juga dengan tegas menyatakan “Presiden, bubarkan Ahmadiyah atau revolusi.” Ketua Front Pembela Islam (FPI) yang juga menjabat sebagai kepala negara DRI itu juga menegaskan bahwa istana adalah tempat setan.
Tabloid Suara Islam edisi 108 (4-18 Maret) yang merupakan media kalangan Islam radikal mengangkat headline ‘Saatnya Revolusi’. Tulisan-tulisan di edisi itu melihat kemungkinan gelombang revolusi yang terjadi di Timur Tengah akan menerpa Indonesia. Dan Ahmadiyah adalah isu utama yang bisa menggulingkan SBY.
Pernyataan-pernyataan para tokoh garis keras dalam edisi itu memang mengindikasikan dorongan agar revolusi Islam berlangsung di Indonesia. Abu Jibril (Wakil Amir Majelis Mujahiddin) meminta MUI bersedia tampil memimpin revolusi. Katanya lagi: “Memang saat ini umat Islam Indonesia masih takut mati. Kita harus banyak belajar dari umat Islam di Mesir, Tunisia, dan Libya yang tak takut lagi terhadap kematian demi perjuangan menegakkan kebenaran.”
Di dalam Rubrik Galeri Opini beragam pandangan serupa tersaji. Sri Bintang Pamungkas menyatakan: “Ahmadiyah bisa menjadi salah satu pemicu revolusi yang akan menyulut kemarahan rakyat yang sudah lama ditahan-tahan.” Rizal Ramli (mantan Menko Perekonomian) menyebut ‘Agustus SBY Lengser’. Alfian Tanjung (Ketua Umum Taruna Muslim) menyatakan, ‘perlu dibentuk pasukan revolusi Islam’. Pemimpin redaksi tabloid tersebut, Aru Syeiff Abdullah, menulis kolom khusus berjudul “Revolusi Saatnya Tiba?”
Dalam edisi berikutnya (18 Maret-1 April), Suara Islam kembali menyuarakan tuntutannya. Gagasannya tetap: ‘Bubarkan Ahmadiyah atau Revolusi!’ Suara Islam menampilkan sebuah maklumat yang menyatakan bahwa bila Presiden tetap enggan membubarkan Ahmadiyah, berarti Presiden akan berhadapan dengan Allah dan Rasul-Nya, dan juga layak dimakzulkan karena telah melanggar sumpah jabatan. Ada pula Ridwan Saidi, mantan aktivis HMI, yang mengatakan: “September SBY Jatuh”.

Wawancara panjang dengan Munarman (Ketua Tim Advokasi FUI) membawa semangat serupa. Menurutnya, isu Ahmadiyah seharusnya menjadi pemersatu umat Islam dalam melihat rezim SBY sebagai ‘reprsentasi kekuatan jaringan zionis internasional’. Dia juga memperkirakan bila dalam dua bulan, setiap hari terus-menerus aksi dilakukan disertai pendudukan gedung DPR/MPR, SBY (seperti Soeharto) bisa mundur. Bila SBY jatuh, katanya, sebuah pemerintahan Islam akan berdiri. “Bukan revolusi Mesir yang pindah ke Indonesia,” katanya, “justru kita akan memulai revolusi untuk menerapkan syariat di Indonesia.”
Apa yang ingin ditunjukkan di sini adalah bahwa gagasan memperoleh kekuasaan politik sebagaimana tercermin dalam pembentukan DRI pada 2010 itu bukan sekadar obrolan di mushalla. Kalau dilihat mereka yang terlibat di dalamnya memang adalah kelompok-kelompok Islam politik yang tersingkir akibat proses demokrasi. Mereka bercita-cita memperoleh bagian dalam tampuk kekuasaan, tapi selama ini tak pernah diberi tempat oleh sang Presiden yang mungkin juga sakit hati dengan isu ‘Kristen’ yang dilekatkan pada istrinya menjelang pemilu 2009. Mereka bahkan tak dilirik oleh partai politik dengan identitas keislaman yang cukup berpengaruh, PKS. Dalam pemilu, suara kalangan garis keras ini sangat tidak berarti.
Dengan demikian, hasrat untuk mendelegitimasi pemerintahan SBY sangat mungkin melatarbelakangi serangan politik mereka yang berkelanjutan. Hanya saja, untuk itu, kalangan ini harus terlihat cukup besar dan memiliki daya tekan dan daya tawar yang kuat. Mereka semula berharap kasus Bank Century dapat dimanfaatkan. Ketika itu ternyata tak berlanjut, mereka memperoleh satu isu baru yang nyatanya mengangkat identitas dan kekohesifan mereka secara lebih menonjol: Ahmadiyah dan mungkin isu-isu sejenis lain.
Dengan mengangkat isu Ahmadiyah, kelompok ini memperoleh daya ungkit yang dibutuhkan. Dengan mencitrakan penyerangan terhadap Ahmadiyah sebagai bagian dari jihad melawan kesesatan, kaum radikal ini memposisikan diri sebagai ‘penyelamat’ Islam dari keburukan rezim pemerintahan yang, menurut mereka, dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing. Dan serangan demi serangan yang mereka lakukan turut membangun kesan kebesaran kekuatan yang mereka miliki. Apalagi, secara berkelanjutan, serangan mereka melibatkan ribuan orang yang bersedia bertempur di jalan untuk membela Islam.
Kalau memang demikian strategi mereka, itu nampaknya menemui sasaran. Kalangan garis keras ini sekarang benar-benar menjadi kelompok penekan yang harus diperhitungkan. Dalam konteks itu, apa yang dikabarkan saluran televisi internasional, Al Jazeera, pada 22 Maret 2011, menjadi tampak sangat masuk akal.
Dalam pemberitaan itu, Al Jazeera memaparkan adanya kerjasama antara kelompok-kelompok Islam garis keras Indonesia dengan pensiunan perwira militer yang ingin menggulingkan Presiden SBY. Tak kurang dari mantan KSAD, Jenderal (purn) Tyasno Sudarto, mengakui bahwa kelompok militer memang menemukan kesamaan tujuan dengan kelompok-kelompok Islam yang ingin agar SBY turun dari tampuk kekuasaan. “Melalui revolusi damai,” ujarnya.
Al Jazeera juga mewawancarai tokoh-tokoh Islam garis keras, termasuk Al Khaththath, yang mengaku didatangi perwira militer. Al Khaththath mengatakan, “Saya hanya bisa mengatakan, bahwa saya memang didekati perwira militer, itu saja.” Namun, narasumber lain, bicara lebih lugas. Menurut pimpinan organisasi Gerakan Reformasi Islam (Garis), Chep Hernawan, dia memang didatangi perwira militer yang menyatakan dukungan atas aksi-aksi kelompok Islam menuntut SBY untuk membubarkan Ahmadiyah.
Satu hari kemudian, Chep bahkan menyatakan pada Tempo Interaktif, rencana mereka untuk menggulingkan SBY didukung beberapa Jenderal bintang tiga. “Sekitar 1-2 bulan lalu bertemu, mereka berikan dukungan moril dan siap membantu,” jelas Chep.
Menurut Chep, para purnawirawan jenderal itu mendekatinya akhir Januari, atau sekitar sebulan sebelum penyerbuan yang menewaskan tiga orang Ahmadiyah di Cikeusik terjadi.
Sang Jenderal, kata Chep, muak dengan kebohongan pemerintahan SBY. “Mereka bertanya, apa yang diangkat untuk menumbangkan Susilo Bambang Yudhoyono. Isunya apa? Kasus Century tidak mampu. Barangkali isu Ahmadiyah,” ujar Chep, sebagaimana dikutip Tempo.
Rangkaian fakta itu menunjukkan bahwa isu tentang upaya membangun kekuatan politik untuk memperoleh bagian kekuasaan oleh kelompok-kelompok Islam radikal sama sekali jauh dari remeh. Ahmadiyah, dalam hal ini, sekadar menjadi korban seperti kaum Yahudi di zaman awal kemunculan Nazi di Jerman sebelum Perang Dunia II. Kehancuran Ahmadiyah akan menjadi sumber tenaga dan kekuatan bagi kelompok Dewan Revolusi Islam untuk menguasai panggung politik. Dan strategi mereka terbukti sukses.



BAB IV
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Dalam penerapannya Demokrasi Pancasila mengalami banyak penyimpangan dan ancaman yang dapat menyebabkan melengsernya Pancasila sebagai dasar Negara, Ideologi Negara dan landasan filosofi Negara. Demokrasi Pancasila merupakan konsep dan sistem pemerintahan yang lahir sebagai koreksi atas penerapan Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin di bawah kendali kepemimpinan Soekarno yang dinilai telah banyak melakukan penyimpangan terhadap konstitusi dan ideologi negara, sekaligus bertentangan dengan konsep demokrasi itu sendiri. Diantara bentuk penyimpangan yang paling parah ialah ditetapkannya Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Yang berarti tidak ada mekanisme pergantian kekuasaan eksekutif lewat pemilihan umum.
Jika pancasila kehilangan pendukung sebagai konsekuensi atas rendahnya komitmen maka sudah menjadi keprihatinan umum, ideologi pancasila tidak lagi mengambil porsi sentral dalam wacana publik, lebih-lebih dalam beberapa tahun belakangan ini. Bahkan mulai muncul kekhawatiran tentang kemungkinan Pancasila digeser oleh ideology lain. Jika terjadi gerak politik keaagamaan yang mengarah pada politik teokrasi- otoriter yang memaksakan doktrin androsentris dan mengancam pandangan antroposentris.




DAFTAR PUSTAKA

http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_21/ppkn203_07.html
http://www.perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/demokrasi-
pancasila.html
http://www.google.com
http://www.majalahteras.com/2009/06/demokrasi-dalam-bingkai-pancasila/
http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=21&fname=ppkn203_07.html

0 komentar:

Post a Comment