A. Latar Belakang
Cedera kepala dapat mengakibatkan
malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat
langsung dari cedera dan banyak lainnya terjadi sekinder akibat cedera. Otak di
lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya. Tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti adanya) akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak
neuron tidak dapat di perbaiki lagi(Sylvia Anderson,2005:1171).
Cedera kepala meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologic
yang serius diantara penyakit neurologic dan merupakan proporsi epidemic
sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 100.000 orang meninggal
setiap tahun akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 orang mengalami
cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Pada kelompok ini,
antara 50.000 orang dan 90.000 orang setiap tahun mengalami penurunan
intelektual atau tingkah laku yang menghambat kembalinya mereka menuju
kehidupan normal. Dua pertiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun, dengan
jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Adanya kadar alcohol dalam darah
deteksi lebih dari 50% pasien cedera kepala yang di terapi di ruang darurat.
Lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepalanberat mempunyai signifikan
terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemik pada pasien
cedera kepala biasanya karena cedera bagian tubuh lainnya. Resiko utama pasien
yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otot akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan
tekanan intracranial.(Smeltzer dan Suzanne, 2001:2209).
Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian
besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2007: 3). Di dunia
diperkirakan sebanyak 1,2 juta jiwa nyawa melayang setiap tahunnya sebagai akibat
kecelakaan bermotor, diperkirakan sekitar 0,3-0,5% mengalami cedera kepala. Di
Indonesia diperkirakan lebih dari 80% pengendara kendaraan mengalami resiko
kecelakaan. 18% diantaranya mengalami cedera kepala dan kecederaan permanen,
tingginya angka kecelakaan lalu lintas tidak terlepas dari makin mudahnya orang
untuk memiliki kendaraan bermotor dan kecelakaan manusia(Shell,2008).
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
konsep teori trauma kepala?
2. Bagaimana
penanganan trauma kepala?
3. Bagaimana
asuhan keperawatan trauma kepala?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalh ini
yaitu diharapkan pembaca dapat memahami bagaimana konsep teori dari trauma
kepala, penanganan trauma kepala, dan asuhan keperawatan trauma kepala.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Comutio cerebri (Trauma Kepala)
adalah luka yang terjadi pada kulit kepala, tulang kepala atau otak (Billing
dan Stokes, 1982). Trauma kepala dapat mempengaruhi perubahan fisik maupun
psikologis bagi klien dan keluarganya (Siahaan, 1994).
B. Etiologi
Kecelakaan, jatuh,
kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.§
Kecelakaan pada saat
olah raga, anak dengan ketergantungan.§
Cedera akibat
kekerasan.§
C.
Tanda dan gejala
Tingkat keparahan trauma kepala:
- Trauma kepala ringan, nilai Skala Koma Glasgow (GCS) 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebri maupun hematoma.
- Trauma kepala sedang, nilai Skala Ko9ma Glasgow (GCS) 9-12, kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebihg dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak.
- Trauma kepala berat, nilai Skala Koma Glasgow (GCS) 3-8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, juga meliputi kontusio serebral-laserasi-hematoma intrakranial.
Tanda dan gejala trauma kepala :
- Pingsan setelah trauma dibawah 10 mnt.
- Nyeri kepala
- Mual muntah
- Amnesia sesaat/sementara (lupa kejadian).
D.
Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan
oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel
syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan me3niombulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala. Gejala
permulaan disfungsi serebral, pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha
memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob, yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan laktat akibat metabolisme anaerob. Hal
ini menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal aliran darah serebral
(CBF) adalah 50 – 60 ml/mnt/100gr jaringan otak yang merupakan 16% daricurah
jantung/kardiak output (CO). Trauma kepala sampai otak tentunya akan menimbulkan
gangguan pada sistem-sistem besar tubuh yang dikendalikan oleh otak,
diantaranya sistem kardiovaskuler, respiratori, metabolisme, gastrointestinal,
mobilisasi fisik. Selain itu juga mempengaruhi faktor psikologis.
E.
Pemeriksaan penunjang
· Laboratorium darah rutin:
Hb, hematokrit, lekosit, trombosit, elektrolit, ureum,
kreatinin, glukosa, golongan darah, analisa gas darah bila perlu.
· Foto kepala: AP, Lateral, Towne.
· Foto sevical bila ada tanda-tanda frakturt servical.
· CT- Scan
· Arteriografi kalau perlu.
· Burr Holes: dilakukan bila keadaan pasien cepat
memburuk disertai dengan penurunan kesadaran
F.
Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan umum trauma kepala:
· Monitor respirasi : bebaskan jalan nafas, monitor keadaan
ventilasi, periksa Analisa Gas Darah, berikan oksigan jika perlu
· Monitor tekanan intrakranial
· Atasi syok bila ada
· Kontrol tanda vital
· Keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Operasi
Operasi dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intrasereberal, debridemen
luka,dan prosedur shunting, jenis operasi tersebut adalah :.
· Craniotomy adalah mencakup pembukaan
tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur
intrakranial. Ada tiga tipe craniotomy menurut letak insisi yaitu: craniotomy supratentorial (diatas
tentorium), infratentorial (dibawah tentorium) dan craniotomy
transfenoidal (melalui sinus mulut dan hidung )
· Craniektomy adalah eksisi pada suatu
bagian tengkorak.
· Cranioplasty adalah perbaikan deffek
kranial dengan menggunakan plat logam atau plastik
· Lubang
burr / Burr holes adalah suatu tindakan pembuatan lubang pada
tulang kepala yang bertujuan untuk diagnostik diantaranya untuk
mengetahui ada tidaknya perdarahan ekstra aksial, pembengkakan cereberal,
cedera dan mengetahui ukuran serta posisi ventrikel sebelum tindakan definitif
craniotomy dilakukan. dan eksplorasi
c. Penatalaksanaan praoperasi :
a) Medik
· Antikonvulsan ( Fenitoin ) diberikan sebelum pembedahan untuk
mengurangi risiko kejang pasca operasi
· Steroid diberikan untuk mengurangi edema cerebral.
· Agens hiperosmotik ( manitol) dan diuretik untuk individu yang mengalami
disfungsi intrakranial dan cenderung menahan air.
· Katether menetap dipasang untuk mengawasi haluaran urin
· Antibiotik diberikan bila cereberal sempat terkontaminasi
· Diazepam diberikan untuk menghilangkan ansietas.
G.
Manajemen terapi
- Obat-obatan: Dexamethason/Kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
- Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
- Pemberian analgetika.
- Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau gliserol 10%.
- Antibiotika yang mengandung barier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.
- Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dektrose 5%, aminofisin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
- Pembedahan.
- Pada trauma berat. Karena hari-hari pertyama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari [ertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dekstrose 5% 8 jam pertama, Ringe dekstrose 8 jam kedua dan Dekstrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-3000 cc TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urea N.
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN
A. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a.
Sebab-sebab cedera
b.
Lamanya tidak sadar
c.
Lamanya amnesia pasca trauma
d.
Adanya nyeri kepala, mual
muntah, kebingungan, pusing kepala, kecemasan, sukar untuk dibangunkan
2. Pemeriksaan
a.
Bukti adanya cedera kepala
tanda-tanda adanya fraktur tengkorak atau basis kranii
b.
Tanda-tanda vital
c.
Tingkat kesadaran
d.
Reaksi dan ukuran pupil,
gerakan/posisi bola mata
e.
Kelemahan anggota gerak
f.
Perubahan tingkah laku
g.
Tanda-tanda cedera di organ
atau tempat lain
h.
Pemeriksaan Penunjang
Ct-Scan : Kemungkinan adanya subdural hematom,
intrasereberal hematom, keadaan ventrikel.
Foto X-Ray tengkorak :
Mengetahui adanya fraktur tengkorak, fragmen, tulang
Foto X-Ray servikal : Mengetahui
adanya fraktur servikal.
MRI : Sama
dengan CT Scan
Laboratorium : Darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
B.
Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung)
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau
kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit
rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan
nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas
sistem tertutup (kebocoran CSS)
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan,
misal: tirah baring, imobilisasi.
5. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan
tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan.
Status hipermetabolik.
C.
Intervensi
Dx I :
Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan
fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil: Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan
TIK.
Rencana Tindakan :
1.
Pantau /catat status
neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
2.
Evaluasi keadaan pupil,
ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
3.
Pantau tanda-tanda vital:
TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
4.
Bantu pasien untuk
menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
5.
Tinggikan kepala pasien
15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
6.
Batasi pemberian cairan
sesuai indikasi.
7.
Berikan oksigen tambahan
sesuai indikasi.
8.
Berikan obat sesuai
indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif,
antipiretik.
Dx II :
Tujuan: mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi: bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Rencana tindakan :
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan
pernapasan.
2. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk
melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
3. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai
indikasi.
4. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien
sadar.
5. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15
detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
6. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara
tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
7. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
8. Lakukan rontgen thoraks ulang.
9. Berikan oksigenasi.
10. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
Dx III :
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Rencana tindakan :
1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan
yang baik.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang
alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil,
diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
4. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru
secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
5. Berikan antibiotik sesuai indikasi
Dx IV :
Tujuan : Klien merasa nyaman.
Kriteria hasil : Klien akan melaporkan peningkatan kekuatan/ tahanan dan menyebutkan
makanan yang harus dihindari.
Rencana tindakan :
1. Dorong klien untuk berbaring dalam posisi terlentang dengan bantalan
penghangat diatas abdomen.
2.
Singkirkan pemandangan yang
tidak menyenangkan dan bau yang tidak sedap dari lingkungan klien.
3. Dorong masukan jumlah kecil dan sering dari cairan jernih (misal : teh
encer, air jahe, agar-agar, air) 30-60 ml tiap ½ -2 jam.
4. Instruksikan klien untuk menghindari hal ini : Cairan yang panas dan
dingin, makanan yang mengandung serat dan lemak (misal; susu, buah), Kafein
Dx V :
Tujuan : intake nutrisi meningkat, keseimbangan cairan dan elektrolit,
berat badan stabil, torgor kulit dan membran mukosa membaik, membantu
keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi diberikan per oral, keluarga mampu
menyebutkan pantangan yang tidak boleh dimakan, yaitu makan rendah garam dan
rendah lemak.
Kriteria hasil : Klien dapat mengatakan kondisinya sudah mulai membaik
dan tidak lemas lagi. Klien diberikan rentang skala (1-10).
Rencana tindakan :
1. Mengkaji keadaan nutrisi untuk mengetahui intake nutrisi klien.
2. Kaji faktor penyebab perubahan nutrisi (klien tidak nafsu makan, klien
kurang makan makanan yang bergizi, keadaan klien lemah dan banyak mengeluarkan
keringat).
3. Kolaborasi dengan tim gizi tentang pemberian mekanan yang sesuai dengan
program diet (rendah garam dan rendah lemak).
4. Membantu keluarga dalam memberikan asupan makanan peroral dan menyarankan
klien untuk menghindari makanan yang berpantangan dengan penyakitnya.
5. Membantu memberikan vitamin dan mineral sesuai program.
6. Kolaborasi dengan Tim dokter dalam pemberian Transfusi Infus RD 5% 1500
cc/24 jam dan NaCl.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Comutio cerebri (Trauma Kepala)
adalah luka yang terjadi pada kulit kepala, tulang kepala atau otak. Trauma
kepala dapat mempengaruhi perubahan fisik maupun psikologis bagi klien dan
keluarganya. Trauma kepala dapat disebabkan :
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan
kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.§
Kecelakaan pada saat
olah raga, anak dengan ketergantungan.§
Cedera akibat
kekerasan.§
B.
Saran
Makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan diharapkan pembaca mencari refrensi lain
sebagai tambahan untuk melengkapi kekurangan dari makalah ini.
·
DAFTAR
PUSTAKA
Marylinn
E. Doengoes. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi
3, EGC. Jakarta, 1999
Asuhan Keperawatan : Trauma Kepala